DUA TAHUN YANG LALU TENTANG DISKRIMINASI PENDIDIKAN
Assiry gombal mukiyo,2014
Selama ini nampak bahwa peran sekolah — disadari atau tidak — juga melegitimasi dominasi elit sosial, bahkan sekolah
 merupakan bagian dari kpentingan masyarakat untuk mempertahankan 
struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial 
tertentu. Ini artinya sekolah merupakan salah satu bagian dari supra 
struktur masyarakat. Karenanya dapat dipahami jika kelompok masyarakat 
miskin adalah pihak yang paling susah mengikuti irama pendidikan. Meski 
penelitian di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata IQ bayi berumur kurang
 dari dua tahun tidak ada perbedaan yang signifikan, baik antara orang 
kaya dan orang miskin.
Namun
 ketika proses membesarkan anak mulai berjalan, kekurangan gizi maupun 
sarana pendidikan, menjadikan anak dari golongan miskin makin jauh 
tertinggal. Orang kaya sanggup “menghadirkan” sekolah di rumahnya. 
Dipanggillah guru les piano, les bahasa Inggris, les komputer, les 
kaligrafi, les melukis ataupun membeli perlengkapan sekolah seperti 
buku, internet, atau jaringan komunikasi lainnya.
Umumnya
 anak-anak orang miskin bersekolah di lingkungan yang kumuh, 
terbelakang, dan akrab dengan kekerasan. Lingkungan yang tidak ramah, 
maupun karena rasa percaya diri (self confidence) yang rendah menjadikan
 anak miskin cenderung agresif, mudah terprovokasi, mudah tersinggung, 
apalagi jika dirangsang oleh tantangan di luar yang tidak adil.
Fenomena
 tersebut sangat bertentangan dengan teori dan gagasan tentang 
pendidikan multikultural. Kalau anak bersekolah sudah dikotak-kotak oleh
 batasan etnis, agama, kebudayaan, strata sosial, dan sebagainya, maka 
akan terjadi “pembutaan” mata batin dan wawasan pengetahuannya. Anak 
dikhawatirkan menjadi konservatif, fanatis sempit, dan mudah 
terprovokasi dalam konflik Padahal menurut Islam, pendidikan harus 
dimulai dari “muradan” berkehendak untuk iqro’ (alimul ghoib) dan 
berfikir, kemudian dilalui dengan “tarbiyah” kepengasuhan yang rahman 
dan rahim, untuk menumbuhkan manusia yang siap berjihad sosial (bekerja 
keras) agar fungsi kekhalifahannya maksimal.
Sayang,
 yang muncul adalah pendidikan transaksional yang berorientasi laba dan 
mencari keuntungan. Wajar bagi kaum muslimin yang berpendidikan kemudian
 tidak memiliki kemampuan jihad sosial. Pelampiasannya adalah 
menyombongkan diri dan merendahkan yang lain.
Yang terjadi adalah persaingan yang membabi buta, yang penting bisa kerja asal "nyogok" atau menyuap dan terjadi banyak ketimpangan-ketimpangan yang semakin memprihatinkan baik tawuran dan tindak kekerasan.
Yang terjadi adalah persaingan yang membabi buta, yang penting bisa kerja asal "nyogok" atau menyuap dan terjadi banyak ketimpangan-ketimpangan yang semakin memprihatinkan baik tawuran dan tindak kekerasan.







Posting Komentar